MEDIANAGANEWS.COM, MEDAN - Bongkar paksa yang dilakukan oleh Satpol-PP Kota Medan bersama dengan Satpol-PP Kabupaten Deliserdang pada Kamis (1/9/2022) hingga pada hari ini Senin (5/9/2022) yang terletak di Jalan Asrama Helvetia Medan Deliserdang menjadi bahan perbincangan para warga setempat maupun netizen. Ada apa pembongkaran Tiba-Tiba setelah adanya rencana pembangunan Suwondo di hamparan perak ? Bagaimana masalah sekolah Eka Prasetia yang sebelumnya sungainya berada di dalam pagar sekolah dan sekarang sudah lurus namun tidak disentuh oleh Satpol-PP ?? Kenapa Kantor Walikota Medan tidak dilakukan normalisasi sungai secara kantor tersebut sangat jelas terlihat berada di wilayah sungai yang membuat normalisasi sungai Kota Medan sering banjir ???
Pertanyaan demi pertanyaan tersebut pun menjadi banyak di pertanyakan oleh masyarakat maupun warga netizen Kota Medan, dimana pertanyaan itupun sampai mempertanyakan Ruko pengembang siapa nantinya yang akan menduduki lahan pinggir jalan tersebut.
Menanggapi perihal ini Boasa Simanjuntak sebagai salah satu tim pemerhati Kota Medan juga ikut serta angkat bicara.
"Sepenting dan secepat apa rencana pembangunan itu sehingga tidak beri ruang kepada warga sekitar untuk mengangkat barang dari rumahnya sebelumnya," pungkas Boasa Simanjuntak, Kamis (01/09/2022).
Sementara itu berdasarkan hasil pantauan awak media, Pemerintah melalui Satpol-PP meminta sejumlah uang kepada masyarakat sekitar untuk membayar uang angkat.
"Mau kami angkat tapi bayar ya kalau tak mau bayar kami robohkan," pungkas para gerombolan Satpol-PP tersebut.
Terkait perihal itu ada sebagian warga yang membayar, namun banyak juga yang tidak membayar, sehingga yang tidak mempunyai uang untuk membayar langsung dihancurkan dan dirobohkan dengan kekuatan penuh Satpol-PP.
Berdasarkan hasil informasi yang berhasil dihimpun oleh awak media dari warga tempat kejadian pembongkaran paksa tersebut, menurut pengakuan masyarakat sekitar adapun Pembongkaran ini dilakukan setelah masuknya Surat Pemberitahuan (SP) tertanggal 31 Agustus 2022 kepada warga yang ditujukan langsung pada SP 2, sementara SP 1 dan SP 3 tidak ada diberikan.
Pada saat pembongkaran paksa yang dilakukan oleh pihak Satpol-PP bersama dengan aparat gabungan yang dibekap oleh TNI-POLRI, tampak banyak warga yang pontang-panting dan kewalahan teleponan sana sini untuk mencari tempat tinggal dan tempat untuk menitipkan barang namun sebagian tidak mendapatkan tempat penitipan barang tersebut.
Pihak Satpol-PP dan TNI-POLRI yang bergabung di lapangan juga tampak langsung mengawal dan menghambat massa yang mencoba menghalangi penggusuran maupun pengerusakan terhadap rumah warga tersebut yang diduga konon katanya sudah diganti rugi pada tahun 2002.
Adapun informasi yang didapat, bahwa pada tahun 2002 lahan tersebut sudah diganti rugi oleh Pemerintah sebelumnya. Dimana Pemerintah mengganti rugi lahan dan melakukan pembiaran selama 20 tahun sehingga masyarakat membangun kembali dan masyarakat yang diganti rugi sebelumnya ternyata benar sudah meninggalkan lahan tersebut.
"Kami orang-orang baru yang tidak mengetahui permasalahannya dan kami juga tidak ada meminta harus mempertahankan lahan ini namun kami meminta agar dikasih waktu untuk mencari tempat tinggal yang baru pak. Sedangkan sudah melakukan kejahatan aja pengadilan masih kasih waktu 14 hari kalau ini kami tidak dikasih waktu pak," pungkas Boru Manurung salah satu warga yang menempati lahan tersebut.
Selain itu warga lainnya juga ikut serta di sambangi oleh awak media ini. Tampak masyarakat sekitar pun tetap mengalami berbagai keluhan atas peristiwa pembongkaran paksa tersebut.
"Apa artinya ada Undang-Undang bang, katanya setiap orang atau fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun kenapa kami ini yang tidak punya apa-apa (miskin) diperlakukan sampai setega ini bang," ucap salah satu seorang warga sekitar yang diketahui memiliki pekerjaan keseharian sebagai tukang becak.
Terkait peranan ormas Pejuang Batak Bersatu yang langsung hadir di lokasi saat terjadinya pembongkaran paksa tersebut, diketahui bahwa adapun para warga disana sebagian banyak ada yang berasal dari ormas tersebut. Pejuang Batak Bersatu yang bergabung dengan masyarakat sekitar tidak terima pembongkaran paksa tersebut dilakukan jika pemerintah tidak memberikan kompensasi minimal uang pembongkaran dan pemindahan barang bagi para warga setempat.
Negosiasi pun dilakukan oleh ormas tersebut kepada Pemerintah guna merealisasikan permintaan warga setempat. Namun disaat negosiasi dilakukan para Satpol-PP bukan nya menahan diri justru malah langsung menjarah minuman (foto penggantian uang terlampir) dan memeras warga dengan meminta uang serta melakukan pelemparan batu kepada warga sekitar dan anggota ormas yang hadir pada saat kejadian tersebut. Akibat insiden ini dua orang warga terkena lemparan batu dan memancing kericuhan. Pihak warga bersama dengan ormas Pejuang Batak Bersatu yang hadir saat peristiwa terjadi langsung membawa permasalahan ini ke ranah hukum dengan melaporkan Pemko Medan ke Kantor Polisi. (Rahmat/Retno)